ADS

Muatan Kapal Indonesia Yang Dinikmati Pelayaran Asing


Masih belum dicabutnya moratorium nomor 183/X/DN-16 tanggal 28 Oktober 2016 perihal pelarangan kapal dibawah 500 GT berlayar lewat bahari Sulu (Filipina) oleh pemerintah Indonesia, menciptakan pelayaran Indonesia mirip mati suri berkepanjangan. Keadaan ini sangat dinikmati perusahaan pelayaran abnormal di negara yang mempunyai ratusan juta ton ekspor batubara ini.

Mandeknya pelayaran semakin lengkap dengan ditundanya pemberlakuan Permendag nomor 82 tahun 2017 untuk mengatakan waktu kepada pemerintah Indonesia mempersiapkan armada kapal kapal pengangkut komoditas batubara dan minyak sawit keluar negeri.

Jika ditelaah lebih jauh, bahwasanya masih tersisa cita-cita untuk mengamankan sebagian uang freight batubara yang sanggup diekspor memakai kapal kapal berbendera Indonesia ke negara tetangga terdekat dari sentra industri batubara tersebut.

Seperti diketahui bersama,  industri batubara yang besar hanya terpusat di 3 provinsi Indonesia yaitu Kalimantan Selatan,  Kalimantan Timur dan Sumatera Selatan.

Jika diukur, jarak dari Samarinda ibukota Kalimantan Timur ke Filipina Selatan berkisar 560 nautical mil, atau kurang lebih sama dengan jarak dari Samarinda ke Surabaya. Dahulu rute ini sering ditempuh rombongan tongkang batubara ke Filipina, hingga kesannya para perompak di bahari Sulu melumpuhkan acara tersebut.

Semenjak maraknya pembajakan kapal di bahari Sulu Filipina, pemerintah dengan moratorium Kemenhub (revisi) nomor 183/X/DN-16 tanggal 28 Oktober masih melarang kapal-kapal dibawah 500 GT melaksanakan pelayaran ke Filipina. Artinya kapal tug boat yang menggandeng tongkang, tidak boleh berlayar menuju Filipina lewat bahari Sulu.

Apabila dilihat dari jenis kapal pengangkut batubara, maka dunia pelayaran hanya memakai 2 jenis kapal untuk mengangkut muatan curah tersebut. Yang pertama yaitu bulker ukuran 40.000 ton (Handy max) keatas, dan kedua yaitu tongkang dengan kapasitas sekitar 8.000 ton. Tidak ada kapal jenis lain yang hemat apabila digunakan mengangkut muatan jenis tersebut.

Dengan masih dilarangnya tongkang berlayar ke Filipina (satu-satunya negara luar yang hemat dan kondusif dari aspek inland water nya) maka mudah hampir tidak ada ekspor batubara memakai armada nasional, kecuali kapal bulker yang masih sedikit jumlahnya di Indonesia. 

Tidak heran apabila melihat area Ship to Ship di Muara Mahakam dan Barito kawasan memuat batubara dari tongkang tongkang ke mother vessel/ bulker, mirip melihat anchorage di luar negeri. Karena 97 persen bulker yang ada disana yaitu kapal bendera asing, sementara rejeki dari uang freight buat kapal bendera Indonesia masih sebatas transhipment dari dalam sungai ke muara nya saja.

Apabila di ekspor batubara ukuran kapal besar kita mengalah sebab dianggap belum siap, maka di ekspor batubara memakai tongkang kita mengalah di tangan perompak.

Adakah solusi yang sanggup dijadikan jalan keluar, biar kita tidak terus mengalah dengan keadaan dan memperlihatkan jatidiri sebagai bangsa yang tangguh?

Masalah ini dahulu sering dibahas untuk dicarikan solusinya, mulai dari kemungkinan joint force patrol antara Indonesia, Malaysia dan Filipina hingga kepada penempatan pasukan bersenjata (armed force on board) diatas konvoi tongkang tongkang tersebut. Opsi pertama tampaknya tidak akan terealisasi sebab Malaysia tidak punya kepentingan hemat di pelayaran tersebut, dan mereka niscaya lebih suka melihat Indonesia tidak sanggup melaksanakan ekspor memakai kapalnya sendiri.

Dalam beberapa kesempatan, ada instansi-instansi professional jasa pengamanan yang memperlihatkan penempatan Armed Force yang dianggap sanggup menjaga keamanan kapal di rute tersebut. Tetapi hal tersebut masih terganjal dengan adanya moratorium pelarangan diatas.

Berkaca dari sejarah rawannya Selat Sumatera (antara Sumatera dan Malaysia) dahulu, pengguna jasa pelayaran disana tidak serta merta mengalah begitu saja. Dengan aneka macam upaya yang dilakukan, sekarang selat tersebut sanggup dibilang kondusif untuk dilewati.

Pelarangan berlayar yaitu bentuk tindakan defensif yang paling mudah, dan kita harus terus nrimo di intimidasi oleh kekuatan sang pengancam, tetapi hingga kapan ini terus berlangsung? Negara kita yang sudah kesulitan mendapatkan hasil freight atas komoditinya, akan semakin terpuruk dengan tidak adanya solusi atas keadaan ini.

Sewajarnya pemerintah membuka opsi lain selain pelarangan tersebut, sebab lemahnya industri pelayaran di negara ini akan menjadi rejeki pelayaran negara lain dan itu sangat dinikmati oleh mereka. Untuk ketika ini kita masih harus nrimo mendapatkan bahwa Foreign Ships Follow our Trade.

sumber: emaritim 

Subscribe to receive free email updates:

ADS